BOGOR I REPUBLIKNEWS.NET – Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus dua (2) Pasal 14 dan 15 UU 1 tahun 1946, mengatur ancaman pidana bagi penyebar berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran. Seharusnya dapat berimplikasi positif, terhadap kegiatan kejurnalistikan oleh para Insan Pers.
Hal itu disampaikan dalam wejangan hukum oleh Rohmat Selamat, SH.,Mkn., selaku Ketua DPC PWRI Bogor Raya yang juga memiliki background sebagai praktisi hukum dan juga mendukung putusan berdasarkan Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023.
“Selain menjadi angin segar untuk para aktivis yang kerap menyuarakan suara kritisnya, putusan tersebut justeru lebih berdampak positif terhadap keberlangsungan kegiatan para Insan Pers,” ucap Rohmat, Jumat (29/3/2024).
Kenapa demikian, lanjut Rohmat memaparkan dengan dihapusnya kedua pasal itu, teman-teman media bisa lebih meng-eksplore sikap kritisnya tanpa harus dibenturkan oleh kedua pasal yang telah dihapus tersebut.
“Rekan-rekan juga tetap harus selalu memahami bahwasanya Pers ataupun kegiatan Pees itu pun juga memiliki ketentuan maupun norma yang disebut Kode Etik Jurnalistik (KEJ),” katanya.
Dalam edukasi yang diberikan, Rohmat juga meminta agar setiap para jurnalis tidak juga terlalu kebablasan menyikapi putusan penghapusan pasal yang cukup beririsan dengan para rekan pers tersebut.
“Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa KEJ berjumlah 11 Pasal, dan UU NO 40 Tahun 1999 Tentang PERS,” jelasnya.
Rohmat juga menjelaskan, pengabulan Permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar dan Fatiah, mengenai larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Sehingga menimbulkan keonaran oleh hakim MK itu justeru harus dicermati lebih positif.
“Walaupun wartawan dalam ketentuannya tidak dapat langsung dibawa ke ranah pidana, dan harus melalui mekanisme Dewan Pers dalam hal keberatan dalam berita, namun ketentuan pemahaman aturan, kode etik, hingga attitude sebagai jurnalis tetap harus menjadi pedoman teman-teman dalam setiap menjalankan kegiatan pers nya,” harap dia.
Menurutnya, ini harus Lebih mengedepankan sikap kritis membangun serta mengutamakan integritas dan kapabilitas dalam menghadirkan produk jurnalistik da harusnya lebih diutamakan. Menghadirkan informasi yang bersifat edukatif tanpa harus mengesampingkan menempatkan diri sebagai pengontrol akan lebih menunjukan peran positif dari keberlangsungan kegiatan pers itu sendiri.
“Saya harap, itu yang dikedepankan oleh segenap para punggawa dari rekan-rekan DPC PWRI Bogor Raya, maupun Insan Pers di Nusantara,” pungkasnya dalam wejangan hukum yag disapaikannya.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan dari Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dkk, terkait Pasal 14 dan 15 UU 1 tahun 1946 yang mengatur ancaman pidana bagi penyebar berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran.
Dalam provinsi, menolak permohonan provisi para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” jelas Suhartoyo, Ketua MK seperti dilansir dari situs resmi MK, Jumat (22/3).
Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegasnya.
Editor : Asep Bucek