KEDIRI | REPUBLIKNEWS.NET- Majelis hakim Pengadilan Negeri Kediri telah mengumumkan putusan terkait kasus obat batuk sirup beracun yang menggemparkan masyarakat.
Empat petinggi perusahaan produsen obat tersebut, termasuk Direktur Utama PT Afi Farma, Arief Prasetya Harahap, telah divonis penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp1 miliar dengan subsider tiga bulan kurungan.
Vonis ini menjadi sorotan publik karena lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa, yang awalnya menginginkan hukuman penjara tujuh hingga sembilan tahun.
Selain Arief Prasetya Harahap, tiga terdakwa lainnya yang divonis adalah Manajer Pengawasan Mutu PT Afi Farma, Nony Satya Anugrah; Manajer Quality Insurance PT Afi Farma, Aynarwati Suwito;
Dan Manajer Produksi PT Afi Farma, Istikhomah. Mereka juga dikenakan denda yang sama dalam kasus obat batuk sirup beracun ini.
Jaksa penuntut umum (JPU) dalam dakwaannya menyebutkan bahwa kasus ini bermula dari temuan bahan baku campuran obat Propelin Glikol yang tercemar etilen glikol dan dietilen glikol dalam produk farmasi PT Afi Farma.
Kandungan zat beracun ini mencapai hingga 99% dalam produk tersebut, namun perusahaan tidak melakukan pengujian sesuai standar yang diatur oleh Kementerian Kesehatan.
Hasil pengujian Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri dari kasus obat batuk sirup beracun mengungkapkan adanya zat beracun etilen glikol (EG) dalam bahan baku yang digunakan oleh PT Afi Farma.
Bahan tersebut berasal dari penyuplai yang mengoplos propilen glikol (PG) dengan etilen glikol (EG), sehingga masuk ke dalam produksi obat sirop.
Pengacara PT Afi Farma membela perusahaan dengan mengatakan bahwa mereka telah berpegang pada certificate of analysis (COA) dan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak melakukan pengawasan yang cukup ketat terhadap bahan baku obat.
Guna menghindari kasus obat batuk sirup beracun, mereka juga menegaskan bahwa hampir seluruh perusahaan farmasi di Indonesia tidak secara khusus menguji kandungan EG dan DEG dalam bahan baku.
Kasus obat batuk sirup beracun ini memunculkan pertanyaan tentang peran BPOM dalam mengawasi obat-obatan yang beredar di pasaran dan tugasnya untuk melindungi masyarakat dari produk obat yang berbahaya.
Ahli farmasi menyoroti perlunya perbaikan dalam pengawasan pascaproduksi obat. Kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya kualitas dan keselamatan obat yang harus dijaga dengan ketat demi kesehatan masyarakat.
Dalam kondisi ini, masyarakat perlu memahami peran BPOM dan tuntutan standar keselamatan dalam produksi obat.
Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak yang terlibat dalam industri farmasi untuk menjaga integritas dan kualitas produk obat yang diperjualbelikan di pasaran.