JAKARTA | Republik Oto – China merasa diuntungkan oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menerapkan tarif 25 persen untuk kendaraan dan suku cadang yang diimpor ke negaranya.
Kebijakan ini diambil dengan dalih memperkuat basis industri dan melindungi sektor otomotif domestik dari persaingan asing.
Langkah itu memicu reaksi global, tetapi tak disangka justru menguntungkan produsen mobil asal China dalam jangka panjang.
Trump berdalih bahwa industri otomotif AS perlu perlindungan dari banjir produk impor yang merugikan tenaga kerja domestik.
Pada 2024 lalu, total impor kendaraan dan suku cadang AS dari Meksiko, Jepang, Jerman, Korea, dan Kanada mencapai US$475 miliar.
Jumlah tersebut hampir mendekati Rp8.000 triliun jika dikonversi, menunjukkan ketergantungan besar pada rantai pasok luar negeri.
Namun, produsen otomotif China tampaknya tidak terlalu khawatir atas kebijakan ini dan melihat peluang di balik hambatan tarif tersebut.
Sam Fiorani, Wakil Presiden AutoForest Solutions, mengatakan bahwa produsen mobil China akan meraih keuntungan signifikan ke depan.
Menurutnya, merek Eropa, Jepang, dan Korea akan terpukul lebih dulu karena mereka bergantung besar pada pasar AS.
Sedangkan produsen China tidak menjadikan pasar AS sebagai tumpuan utama dalam struktur pendapatan global mereka saat ini.
Fiorani menyebutkan bahwa kebijakan tarif akan membuat biaya bisnis semakin mahal untuk semua produsen di pasar otomotif AS.
Namun, produsen asal Tiongkok telah menyiapkan strategi untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan dagang yang proteksionis ini.
China merasa diuntungkan dengan tarif Trump di sektor kendaraan listrik menjadi titik terang, karena China menguasai enam dari sepuluh merek dengan penjualan global tertinggi.
Produsen seperti BYD dan NIO telah memimpin pasar kendaraan listrik, sementara merek lain gencar menembus pasar ekspor.
Trump juga mengumumkan bahwa mulai 2027, kendaraan China yang memakai sistem data canggih dilarang di pasar Amerika.
Alasan pelarangan tersebut karena dianggap dapat membahayakan keamanan nasional melalui pertukaran data digital.
Sistem yang memanfaatkan Bluetooth, Wi-Fi, dan satelit itu umum digunakan di kendaraan listrik modern saat ini.
Tu Le, pendiri Sino Auto Insights, memperingatkan bahwa kebijakan proteksionis justru bisa memperlemah daya saing otomotif AS.
Menurutnya, dengan mengabaikan investasi energi bersih dan infrastruktur pengisian daya, AS kehilangan arah masa depan otomotif.
Ia menilai bahwa terlalu fokus membawa pabrik kembali ke AS malah menyulitkan inovasi dan adaptasi teknologi ramah lingkungan.
Jika tren ini berlanjut, industri otomotif AS berpotensi tidak kompetitif dalam empat tahun ke depan, ungkap Tu Le.
Sementara itu, industri suku cadang otomotif China menghadapi tantangan besar dari kebijakan tersebut, berbeda dari produsen mobilnya.
Pasalnya, komponen kendaraan dan aksesorinya masih banyak berhubungan langsung dengan industri otomotif AS.
Nick Marro, ekonom utama untuk Asia di Economist Intelligence Unit, menyatakan bahwa dampak tarif cukup besar untuk sektor suku cadang.
Menurutnya, meskipun mobil China belum mendominasi pasar AS, suku cadang mereka telah lama menjadi andalan.
Peningkatan tarif membuat posisi tawar produsen suku cadang China menjadi terancam di tengah ketegangan geopolitik.
Namun demikian, banyak analis memprediksi bahwa perusahaan China akan mengalihkan fokus ekspor ke Eropa dan Asia Tenggara.
Langkah diversifikasi pasar ini dianggap sebagai strategi realistis untuk menghadapi tekanan kebijakan dari Washington.
Pemerintah China pun diyakini akan terus mendukung industri otomotif nasional lewat insentif dan kemudahan ekspor.
Perang dagang yang dimulai sejak tujuh tahun lalu justru menempa ketahanan industri otomotif China di tengah tekanan global.
Dengan kombinasi teknologi, pasar domestik besar, dan strategi global, produsen mobil China siap menghadapi tantangan baru.