Badai PHK Industri Media, Pengamat: Dipicu Kombinasi Dua Faktor Ini

JAKARTA I REPUBLIKNEWS.NET-Dewan Pers mencatat, sepanjang tahun 2023 hingga 2024, ada sekitar 1.200 karyawan media, termasuk jurnalis, yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 

Seperti diketahui, Industri media mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, beberapa waktu terakhir. Jumlah tersebut bisa jadi lebih banyak, karena tak semua kasus PHK terdokumentasi. 

Dilansir alinea.id, beberapa waktu lalu, Kompas TV dilaporkan memangkas 150 karyawan, CNN Indonesia TV 200 orang, TVOne 75 orang, dan Elang Mahkota Teknologi (Emtek) 100 orang.

Kemudian, Viva.co.id juga dikabarkan bakal menutup kantornya di Pulogadung, Jakarta Timur. Sedangkan MNC sudah memangkas jumlah pemimpin redaksi dari 10 menjadi tiga orang.

Menyikapi hal ini, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi, mengatakan bahwa gelombang PHK massal yang melanda industri media nasional dipicu oleh kombinasi dua faktor.

Badai PHK Industri Media ini diantaranya faktor tersebut diantaranya adanya pemangkasan anggaran iklan, dan menurunnya minat publik terhadap media arus utama.

“Contohnya Provinsi Jawa Barat yang dulunya menganggarkan Rp50 miliar untuk iklan media, saat ini hanya Rp3,5 miliar,” jelas Tadjuddin dalam keterangannya, pada Mei 2025.

Menurut Tadjuddin, Pemprov Jawa Barat beberapa waktu lalu memutuskan memangkas anggaran belanja iklan media massa dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2025.

“Pemangkasan anggaran tersebut, membuat banyak media, terutama televisi, kehilangan sumber pendapatan utama. Ujung-ujungnya perusahaan melakukan efisiensi, termasuk PHK massal,” ujarnya.

Di sisi lain, publik juga kehilangan minat terhadap media arus utama. Pihaknya melihat, ada perubahan perilaku audiens yang kini lebih memilih platform digital, seperti YouTube, TikTok, dan siniar dibandingkan televisi.

“Saya menilai, konten media saat ini tidak lagi menarik bagi masyarakat. TV isinya hanya debat kusir. Tidak ada solusi. Orang bosan. Mereka ingin wawasan, bukan keributan,” tutur Tadjuddin.

Terlebih, situasi ini diperparah sikap pasif pemerintah. Tadjuddin menilai, pemerintah belum menunjukkan upaya serius dalam menangani krisis pada tenaga kerja ini.

Kendati ada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan, namun implementasinya dianggap belum maksimal.

“Anak saya sendiri di-PHK dari media. Dapat JKP iya, tapi pesangon belum jelas. Pemerintah seharusnya tidak menunggu laporan, tapi turun langsung,” katanya.

Tadjuddin juga menyayangkan wacana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK yang tak kunjung direalisasikan. Padahal, angka pengangguran menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 sudah mencapai 7,48 juta orang.

Sebagai solusi jangka panjang, Tadjuddin mendorong industri media, terutama televisi, untuk memperbaiki kualitas konten.

“Konten harus memberi wawasan, jangan hanya fokus pada debat kusir yang tidak mendidik. Kalau terus seperti ini, masyarakat akan benar-benar meninggalkan media arus utama,” tukasnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *