JAKARTA I REPUBLIKNEWS.NET- Pemerintah Australia menegakkan aturan ketat terkait UMR Australia, dengan sanksi berat bagi pelanggaran pengupahan yang disengaja.
Pemberlakukan aturan baru ini memberikan ancaman hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda hingga AU$ 1,65 juta (sekitar Rp 16,5 miliar) bagi perusahaan yang sengaja membayar karyawan dengan gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Aturan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2025 dan mencakup seluruh wilayah Australia.
Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut atas maraknya pelanggaran pembayaran gaji yang terjadi di berbagai sektor industri. Beberapa perusahaan besar yang terlibat dalam kasus ini antara lain Woolworths, Qantas, 7-Eleven, Chatime, BHP, NAB, dan ABC. Kasus-kasus tersebut telah mengekspos ketidakpatuhan sejumlah perusahaan terhadap ketentuan upah yang sah.
Sebelumnya, badan pengawas Fair Work Ombudsman hanya memiliki wewenang untuk menuntut perusahaan yang melanggar ketentuan pengupahan melalui hukum perdata, yang tidak memberikan ancaman hukuman penjara. Dengan diterapkannya UU baru ini, perusahaan yang terbukti sengaja melanggar hak-hak pekerja dapat dikenakan sanksi pidana yang lebih berat.
UU baru ini tidak hanya mengatur sanksi terhadap perusahaan, tetapi juga terhadap individu yang terlibat dalam pelanggaran pengupahan. Setiap orang yang terbukti bersalah dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda sebesar AU$ 1,65 juta. Sementara perusahaan yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut dapat dikenakan denda yang jauh lebih besar, yakni AU$ 8,25 juta.
Perubahan undang-undang ini bertujuan untuk mengatasi praktik eksploitasi pekerja yang telah terjadi dalam jangka waktu yang lama. Pelanggaran pembayaran gaji di bawah UMR sering kali tidak hanya merugikan pekerja secara finansial, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial yang cukup besar di kalangan masyarakat Australia. Oleh karena itu, peraturan ini diharapkan dapat memberikan efek jera yang signifikan.
Namun, ada sejumlah ketentuan penting terkait penerapan aturan ini. Perusahaan atau individu hanya bisa dituntut atas dugaan pelanggaran yang terjadi setelah 1 Januari 2025. Artinya, pelanggaran yang terjadi sebelum tanggal tersebut tidak dapat diproses berdasarkan hukum pidana yang baru ini.
Fair Work Ombudsman, sebagai badan yang bertanggung jawab untuk mengawasi pelanggaran pengupahan, kini memiliki kewenangan untuk menyerahkan kasus-kasus yang diduga melanggar hukum kepada badan penuntut federal. Proses hukum baru ini memberikan harapan untuk penegakan hukum yang lebih efektif dan lebih berkeadilan.
Badan penuntut federal akan menyelidiki setiap kasus yang dirujuk oleh Fair Work dan memutuskan apakah tuntutan pidana dapat diajukan. Proses ini diharapkan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam praktik pengupahan di Australia. Jika terbukti sengaja melanggar, perusahaan atau individu akan dikenakan hukuman yang setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan.
Undang-undang ini juga menekankan bahwa tidak ada hukuman pidana yang diberikan bagi pelanggaran yang tidak disengaja. Oleh karena itu, perusahaan yang hanya melakukan kesalahan administratif atau yang tidak sengaja melanggar ketentuan pengupahan tidak akan dihadapkan pada tuntutan pidana. Ini memastikan bahwa hukum ini hanya diterapkan pada pelanggaran yang disengaja dan serius.
Peraturan baru ini menjadi sinyal tegas dari pemerintah Australia bahwa pengupahan yang adil adalah hal yang tidak bisa ditawar. Dengan diberlakukannya hukuman pidana yang berat, diharapkan perusahaan-perusahaan di seluruh Australia akan lebih berhati-hati dalam memastikan bahwa mereka membayar gaji sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Pada akhirnya, undang-undang ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan setara di Australia, serta mengurangi ketimpangan sosial yang sering kali disebabkan oleh pelanggaran dalam pembayaran gaji. Ke depan, diharapkan lebih banyak perusahaan yang mengutamakan hak-hak pekerja dan mematuhi ketentuan upah yang sah, demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.